![]() |
Foto: berbagai sumber Media cetak dan digital Ketum DPP LAKAM, Azwar Siri, Tolak Tegas Sertifikasi Tanah Ulayat: Ancaman Terhadap Adat dan Kedaulatan Masyarakat Adat |
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Adat dan Kebudayaan Minangkabau (DPP LAKAM), Azwar Siri, S.H., M.Ed., C.P.L., menyatakan penolakan keras terhadap upaya sertifikasi tanah ulayat. [25 Mei 2025]
Menurut Azwar Siri, langkah tersebut merupakan ancaman serius terhadap eksistensi adat, kedaulatan masyarakat adat, dan berpotensi menimbulkan konflik agraria yang meluas di berbagai wilayah, khususnya di Minangkabau.
Dalam sebuah pernyataan pers yang diadakan di Padang hari ini, Azwar Siri menegaskan bahwa sertifikasi tanah ulayat tidak hanya mengabaikan sistem kepemilikan komunal yang telah diwarisi turun-temurun, tetapi juga membuka celah bagi privatisasi dan penguasaan tanah oleh pihak-pihak di luar komunitas adat.
"Tanah ulayat adalah jantung dari kehidupan masyarakat adat. Ia bukan hanya sekadar aset fisik, melainkan juga fondasi kebudayaan, spiritualitas, dan identitas kami," ujar Azwar Siri dengan nada tegas.
"Sertifikasi tanah ulayat, yang pada dasarnya adalah bentuk individualisasi kepemilikan, secara fundamental bertentangan dengan prinsip-prinsip adat Minangkabau yang menganut kepemilikan komunal, 'pusako tinggi' dan 'pusako randah' serta 'harato sapancarian' yang tak terpisahkan dari peran niniak mamak dan kerapatan adat."
Azwar Siri menjelaskan bahwa sistem tanah ulayat di Minangkabau, misalnya, diatur oleh hukum adat yang kuat dan telah terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan ekologis dan sosial selama berabad-abad. Mekanisme penguasaan dan pemanfaatan tanah diatur secara musyawarah dan mufakat oleh pemangku adat, memastikan keberlanjutan dan keadilan bagi seluruh anggota komunitas. Sertifikasi, menurutnya, akan merusak tatanan ini dan membuka pintu bagi spekulasi tanah, penggusuran, serta marginalisasi masyarakat adat dari tanah leluhurnya.
"Kami khawatir, sertifikasi tanah ulayat akan menjadi legalisasi bagi perampasan tanah adat oleh korporasi atau individu yang tidak memiliki ikatan sejarah dan budaya dengan tanah tersebut. Ini akan memicu konflik horizontal yang sulit diselesaikan dan merusak sendi-sendi persatuan di tengah masyarakat," tambah Azwar Siri, yang juga merupakan seorang praktisi hukum dan pendidik berpengalaman.
Lebih lanjut, Azwar Siri menyoroti minimnya partisipasi dan sosialisasi yang komprehensif kepada masyarakat adat terkait rencana sertifikasi ini. Ia mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan tersebut dan melibatkan secara aktif perwakilan masyarakat adat dalam setiap perumusan kebijakan yang menyangkut tanah ulayat.
"Kami tidak menolak modernisasi atau upaya penataan agraria, tetapi itu harus dilakukan dengan pendekatan yang menghormati hak-hak adat dan kearifan lokal," jelasnya. "Pemerintah seharusnya memperkuat mekanisme pengakuan dan perlindungan hak atas tanah ulayat sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar dan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat."
DPP LAKAM, di bawah kepemimpinan Azwar Siri, menyatakan akan terus mengadvokasi dan berjuang untuk melindungi tanah ulayat dari segala bentuk upaya sertifikasi yang merugikan. Mereka menyerukan kepada seluruh komponen masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, dan pihak-pihak yang peduli terhadap kelestarian adat dan budaya untuk bersatu padu menolak kebijakan ini.
"Kami akan menggunakan segala jalur hukum dan advokasi, serta terus membangun kesadaran kolektif di tengah masyarakat tentang pentingnya menjaga tanah ulayat," pungkas Azwar Siri. "Masa depan adat dan kedaulatan masyarakat adat adalah tanggung jawab kita bersama."
Pernyataan Azwar Siri ini diharapkan dapat memicu diskusi lebih lanjut dan menjadi sorotan bagi pemerintah serta pemangku kepentingan terkait untuk lebih serius mempertimbangkan dampak dari kebijakan sertifikasi tanah ulayat terhadap keberlangsungan hidup masyarakat adat di Indonesia.
[tim, Pasaman post.]